Di tengah kepungan bencana yang melukai ibu pertiwi ini, mari kita coba simak syair dari lagu berikut ini yang sudah dituliskan oleh pengarangnya sejak lebih dari 30 tahun yang lalu. Lagu ini penuh dengan sarat makna dan pesan yang mendalam serta tak lapuk dimakan oleh rayap waktu, tak terkikis oleh gelombang gerusan jaman.
* Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan.
* Sayang engkau tak duduk disampingku kawan.
* Banyak cerita yang mestinya kau saksikan.
* Di tanah kering bebatuan.
* Tubuhku terguncang dihempas batu jalanan.
* Hati tergetar menatap kering rerumputan.
* Perjalanan ini pun seperti jadi saksi.
* Gembala kecil menangis sedih.
* Kawan coba dengar apa jawabnya,
* Ketika dia kutanya mengapa.
* Bapak ibunya telah lama mati,
* Ditelan bencana tanah ini.
* Sesampainya di laut kukabarkan semuanya.
* Kepada karang kepada ombak kepada matahari.
* Tetapi semua diam, tetapi semua bisu.
* Tinggal aku sendiri terpaku menatap langit.
* Barangkali di sana ada jawabnya.
* Mengapa di tanahku terjadi bencana
* Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita
* yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa
* Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita.
* Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang.
Lihat kata-kata berikut :
tanah kering bebatuan, batu jalanan, kering rerumputan, gembala kecil menangis sedih, bapak ibunya telah lama mati, ditelan bencana tanah ini.
Mari kita bandingkan kata-kata tersebut dengan alam Indonesia yang "katanya" subur, makmur, loh jinawi, biji apapun yang ditanam pasti tumbuh di tanah ibu pertiwi ini, dan lain sebagainya. Inikah ungkapan betapa kita sudah merusak alam sehingga yang tersisa hanyalah tanah kering bebatuan, kering rerumputan, dan tinggal kerasnya batu jalanan?
Siapakah gembala kecil yang dimaksud dalam lagu ini? Kenapa dipilih profesi gembala, dan kecil lagi. Mengapa bukan peternak, petani, nelayan, pedagang, pengusaha, politikus atau profesi lain? Karena hanya gembalalah yang memiliki tugas merawat dan menjaga dengan penuh kasih sayang terhadap hewan peliharaannya, dari lahir sampai tua. Tidak ada niatan untuk menyembelih, mengorbankan, atau menjual secara kiloan hewan peliharaannya.
Peternak > cari bibit baik sana sini, dikembangbiakkan, dirawat (tidak dengan kasih sayang) supaya gemuk dan sehat, ketika saatnya tiba, jual kiloan.
Petani > menanam bibit, setelah masa panen tiba, tanaman ditebas, kemudian jual.
Nelayan > tidak menebar bibit ikan, tapi mengambil dari lautan, dapat banyak ikan, jual.
Pedagang dan Pengusaha > apapun di tangan yang bisa menghasilkan duit, jual.
Politikus > tidak hanya apapun, tapi juga siapapun, bagaimanapun, yang jelas bisa menguntungkan, jual.
Lihat nilai kasih sayang yang terkandung dari profesi gembala ini. Jadi, bukankah ada juga istilah Gembala Yang Agung?
Sesampainya di laut.. Ketika bertemu dengan laut, maka laut adalah batas terakhir dari langkah manusia untuk melakukan pencarian. Selesai sudah pencarian jika sudah bertemu laut, balik kanan grak. Kenapa? Karena tidak ada sesuatu yang menjanjikan di seberang lautan. Kok tidak menjanjikan? Lha iya, tidak nampak apa-apa. Hanya cakrawala, hanya garis lurus, dan banyak "hanya.. hanya.." yang lain. Mana menjanjikannya? Tidak ada. Jadi laut inilah batasnya.
Kepada karang, ombak dan matahari, tetapi semua diam, semua bisu. Karang, ombak, matahari dan alam adalah saksi selama berjuta tahun terhadap tingkah laku manusia. Ketika awal dunia terbentuk, "mungkin" mereka masih memberikan banyak nasehat kepada manusia. Tetapi kok ya, dasar manusia yang tidak pernah berubah, akhirnya mereka bosan dan membiarkan manusia dengan kehidupannya.
Terpaku menatap langit.. Inilah harapannya. Di langit banyak benda yang tak terjangkau dan tak terkuasai manusia, seperti bintang, bulan, matahari, pelangi, dan lain sebagainya. (Pesawat terbang dan balon tidak termasuk, karena masih bisa dijangkau dan dikuasai manusia). Nampak bendanya, beda dengan lautan yang menawarkan garis lurus saja. Tapi langit memperlihatkan benda-benda, memperlihatkan harapan. Dan di sanalah Tuhan Yang Maha Agung bertahta. Harapan selalu berada di atas, kecuali sedang menggali sumur ya.. berharap-harap cemas dapat air di bawah.
Apakah Tuhan sudah bosan? tentu jawabannya jelas sekali, "Tidak, Tuhan tidak pernah bosan dengan manusia." Itu sudah pasti.
Pertanyaan lain, "Apakah kita bangga dengan dosa-dosa kita?". Silahkan menjawab. Lah wong nggak ngerti mana yang dosa dan mana yang nggak kok? So, ya manusia selalu bangga dengan segala perbuatannya, gak tahu itu dosa atau tidak, ya kan?
"Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita?" Mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang.
Rumput adalah satu diantara tiga makhluk hidup terlihat (manusia, hewan, tumbuhan). Rumput adalah tumbuhan, tidak punya otak, dan menggantungkan kehidupannya pada kebaikan alam sekitarnya. Bergoyang karena ditiup sang bayu (yaitu angin).
Apakah makna dari rumput yang bergoyang?
31 March 2009
25 March 2009
Hidup adalah Perjuangan (keliru bangett...)
Kenapa keliru?
Jika hidup adalah perjuangan, maka buat apa hidup?? Karena kata Perjuangan menyiratkan suatu arti atau makna yang tertancap erat pada otak kita turun temurun, yaitu bahwa : Perjuangan adalah Rekasa (Rekoso).
Mau bukti? Banyak!! Ingat sejarah bangsa Indonesia, pada jaman Perjuangan melawan penjajah untuk menuju kemerdekaan, apa yang dialami oleh rakyat Indonesia yaitu : rekoso... dheg-dhegan, hidup tak tentu arah, masa depan gak jelas, bapakne berjuang dan sanak keluarga menunggu dengan was-was ("Pulang Paknee!!", "Sik mboknee!! lagi berjuang ki! ngganggu wae, marai tidak konsen berjuang ni!!"), makan gak tentu, (gak tentu lauknya kadang ayam goreng, kadang ayam bacem, ayam diungkep.. ayam terusss.. bosen!!), minum dari mata air dan tetesan air mata, jalanan terasa ga tentram karena siapa tau saat mau beli pulsa, ntar ketemu landa bule, landa jepang, landa ireng, landa pethuk dan landa-landa lainnya.
Betul kan? Pasti!
Nah kalau Hidup adalah Perjuangan, berarti menghendaki kita hidup Rekoso terus... Berjuang terus... Dheg-dhegan terus... Tidak ayem tentrem loh jinawi kerta raharja teruss.. -(kedawan dab sing terakhir, cukup : Tidak tentrem - ah.. Yobenlah!)-
Bukankah perjuangan identik dengan perlawanan? Kalau ada perjuangan menghadapi kemiskinan, wow... berarti perlawanan terhadap kemiskinan atau melawan kemiskinan. Kata yang diberi imbuhan Ke + ... + An, berarti kata itu menjadi kata benda, jadi bisa disimpulkan sebagai perlawanan terhadap benda yang miskin, dalam hal ini, benda tersebut adalah orang. Karena yang bisa miskin adalah orang yang hidup dan bukan barang yang mati. Soalnya, kalau orang yang mati sudah jelas tidak miskin dan juga tidak kaya. Jadi... Perjuangan menghadapi kemiskinan, berarti melawan orang yang miskin! Betul saudara-saudara!!! Otomatis!! (Weh.. gaya politikus nich).
Waduh... payah!! Payah tenan.. Lha wong sudah miskin, rekoso, mangan sedina pisan yo mbuh-mbuhan, kembang kempis (pas ngembang enak.. pas ngempis ora enak tenan..), kok malah mau disingkirkan, malah mau dilawan..
Mbok dikasih BLT (Bantuan Langsung enTek) aja, atau diberi modal madul usaha, atau mungkin pemerintah punya menteri baru dengan julukan Menteri Kemiskinan Rakyat yang berkonsentrasi penuh terhadap rakyat yang miskin, karena kalau yang ada adalah Menteri Kesejahteraan Rakyat, maka menteri itu hanya berfokus pada rakyat yang sejahtera.
Betul kawan-kawan seperjuangan!!! Betulll... Betulll sekaleee.. (gaya band Jamrud).. Plok.. Plok.. Plok.. (applause membahana di seluruh lapangan).. Plakkk!! (yang terakhir, suara ketika oratornya dikeplak).
Jadi... Hidup bukanlah Perjuangan. Tapi Hidup adalah Hidup, suatu fakta atau kenyataan (dan bukan masalah) yang harus dilakoni oleh para aktor dan aktris kehidupan yaitu manusia, dalam kondisi apapun. Dengan apa? Yaitu dengan Bersyukur atau Berterimakasih. Sebab dengan bersyukur, berarti sudah tidak miskin lagi. Hidup adalah Syukur. Hidup harus disyukuri. Kenapa begitu?
Ya jelaslah.. misalnya, saat tidak bisa makan, bersyukurlah. Maka rasa lapar itu akan tergantikan dengan rasa syukur. Apa bisa? Hmmm... sebetulnya ya susah juga sih, tapi cobalah.. Harus dicoba.. Harus dicoba tanpa emosi, tanpa mengindahkan rasa lapar (rasa lapar kok indah?). Berterimakasihlah bahwa masih boleh hidup di dunia ini, walau dalam kondisi lapar.
Percayalah, maka keajaiban akan datang.. Gusti tidak akan membiarkan umat-jemaatnya menderita.
Weeee.... tadi politikus, sekarang relijius. Jabatan nJenengan itu apa to mas? Saya?... Saya adalah Politikus yang Relijius. (ini ngomongnya sambil menunduk, merem, melipat tangan dan meneteskan air mata buaya).
-- Saat-saat inilah muncul banyak kesaksian. Banyak sekali orang-orang yang melihat ada lingkaran cahaya putih berpendar berada di atas kepala saya bak orang pengusaha rokok yaitu orang kudus, bahkan sempat masuk di tivi kabel dalam acara Tembang Kenangan. --
Hanya yang saya sedikit heran, kenapa gak ada yang melihat kedua sayap saya ya? Padahal sudah saya kebat-kebitkan kesana kemari lho.. Tapi gak apa-apa, mungkin kali lain ya?
Kayaknya isi tulisan ini sudah menyimpang dari judul. Yo wis diakhiri wae.. Salammmmm.... Hwakakakaka...
Jika hidup adalah perjuangan, maka buat apa hidup?? Karena kata Perjuangan menyiratkan suatu arti atau makna yang tertancap erat pada otak kita turun temurun, yaitu bahwa : Perjuangan adalah Rekasa (Rekoso).
Mau bukti? Banyak!! Ingat sejarah bangsa Indonesia, pada jaman Perjuangan melawan penjajah untuk menuju kemerdekaan, apa yang dialami oleh rakyat Indonesia yaitu : rekoso... dheg-dhegan, hidup tak tentu arah, masa depan gak jelas, bapakne berjuang dan sanak keluarga menunggu dengan was-was ("Pulang Paknee!!", "Sik mboknee!! lagi berjuang ki! ngganggu wae, marai tidak konsen berjuang ni!!"), makan gak tentu, (gak tentu lauknya kadang ayam goreng, kadang ayam bacem, ayam diungkep.. ayam terusss.. bosen!!), minum dari mata air dan tetesan air mata, jalanan terasa ga tentram karena siapa tau saat mau beli pulsa, ntar ketemu landa bule, landa jepang, landa ireng, landa pethuk dan landa-landa lainnya.
Betul kan? Pasti!
Nah kalau Hidup adalah Perjuangan, berarti menghendaki kita hidup Rekoso terus... Berjuang terus... Dheg-dhegan terus... Tidak ayem tentrem loh jinawi kerta raharja teruss.. -(kedawan dab sing terakhir, cukup : Tidak tentrem - ah.. Yobenlah!)-
Bukankah perjuangan identik dengan perlawanan? Kalau ada perjuangan menghadapi kemiskinan, wow... berarti perlawanan terhadap kemiskinan atau melawan kemiskinan. Kata yang diberi imbuhan Ke + ... + An, berarti kata itu menjadi kata benda, jadi bisa disimpulkan sebagai perlawanan terhadap benda yang miskin, dalam hal ini, benda tersebut adalah orang. Karena yang bisa miskin adalah orang yang hidup dan bukan barang yang mati. Soalnya, kalau orang yang mati sudah jelas tidak miskin dan juga tidak kaya. Jadi... Perjuangan menghadapi kemiskinan, berarti melawan orang yang miskin! Betul saudara-saudara!!! Otomatis!! (Weh.. gaya politikus nich).
Waduh... payah!! Payah tenan.. Lha wong sudah miskin, rekoso, mangan sedina pisan yo mbuh-mbuhan, kembang kempis (pas ngembang enak.. pas ngempis ora enak tenan..), kok malah mau disingkirkan, malah mau dilawan..
Mbok dikasih BLT (Bantuan Langsung enTek) aja, atau diberi modal madul usaha, atau mungkin pemerintah punya menteri baru dengan julukan Menteri Kemiskinan Rakyat yang berkonsentrasi penuh terhadap rakyat yang miskin, karena kalau yang ada adalah Menteri Kesejahteraan Rakyat, maka menteri itu hanya berfokus pada rakyat yang sejahtera.
Betul kawan-kawan seperjuangan!!! Betulll... Betulll sekaleee.. (gaya band Jamrud).. Plok.. Plok.. Plok.. (applause membahana di seluruh lapangan).. Plakkk!! (yang terakhir, suara ketika oratornya dikeplak).
Jadi... Hidup bukanlah Perjuangan. Tapi Hidup adalah Hidup, suatu fakta atau kenyataan (dan bukan masalah) yang harus dilakoni oleh para aktor dan aktris kehidupan yaitu manusia, dalam kondisi apapun. Dengan apa? Yaitu dengan Bersyukur atau Berterimakasih. Sebab dengan bersyukur, berarti sudah tidak miskin lagi. Hidup adalah Syukur. Hidup harus disyukuri. Kenapa begitu?
Ya jelaslah.. misalnya, saat tidak bisa makan, bersyukurlah. Maka rasa lapar itu akan tergantikan dengan rasa syukur. Apa bisa? Hmmm... sebetulnya ya susah juga sih, tapi cobalah.. Harus dicoba.. Harus dicoba tanpa emosi, tanpa mengindahkan rasa lapar (rasa lapar kok indah?). Berterimakasihlah bahwa masih boleh hidup di dunia ini, walau dalam kondisi lapar.
Percayalah, maka keajaiban akan datang.. Gusti tidak akan membiarkan umat-jemaatnya menderita.
Weeee.... tadi politikus, sekarang relijius. Jabatan nJenengan itu apa to mas? Saya?... Saya adalah Politikus yang Relijius. (ini ngomongnya sambil menunduk, merem, melipat tangan dan meneteskan air mata buaya).
-- Saat-saat inilah muncul banyak kesaksian. Banyak sekali orang-orang yang melihat ada lingkaran cahaya putih berpendar berada di atas kepala saya bak orang pengusaha rokok yaitu orang kudus, bahkan sempat masuk di tivi kabel dalam acara Tembang Kenangan. --
Hanya yang saya sedikit heran, kenapa gak ada yang melihat kedua sayap saya ya? Padahal sudah saya kebat-kebitkan kesana kemari lho.. Tapi gak apa-apa, mungkin kali lain ya?
Kayaknya isi tulisan ini sudah menyimpang dari judul. Yo wis diakhiri wae.. Salammmmm.... Hwakakakaka...
Subscribe to:
Posts (Atom)